Beberapa hari yang lalu saya adalah hari terakhir anak sulung saya bersekolah di sebuah sekolah penitipan di Kyoto, Jepang. Sudah sejak beberapa minggu sebelumnya, saya terus berusaha memberikan penjelasan kepada si kakak, bahwa dalam waktu dekat akan segera berhenti bersekolah, dan pulang bersama-sama keluarga ke Indonesia. Awalnya si kakak hanya menjawab ‘Emm,..’, ‘Wakatta!! (mengerti)’, atau ‘haik haik..’ dan seterusnya. Dalam hati saya bertanta-tanya, apa betul kakak ini mengerti sepenuhnya yang saya ucapkan, namun saya tetap berpikiran positif dan menganggap memang si kakak sudah cukup besar untuk mengerti.
Hingga pada akhirnya menjelang hari terakhir sekolah itu, kakak sering sekali menyanyakan beberapa hal, lebih tepatnya menginterogasi saya.
‘Kenapa kita harus pulang ke Indonesia?’
‘Kenapa harus pindah?’
‘Kenapa tidak bisa sekolah lagi?’
‘Kenapa sekolah mama sudah selesai?’
‘Tapi Aira masih mau sekolah disini sampai Syogakko (SD)!’
‘Aira tak bisa jadi Sumire* kah?’
‘Mau jadi Sumire sama-sama teman!’
*Sumire adalah nama kelas di sekolah anak saya, seperti halnya ada kelas nol besar, nol kecil di Indonesia
Dan muaasih banyak lagi apa, mengapa dan kenapa yang berlanjut bahkan setelah kakak berhenti sekolah.
Kembali ke beberapa saat sebelum hari H tersebut, ternyata saya mulai merasa sedih, gelisah, pengen nangis, g bisa tidur, berkurang nafsu makan (tapi BB kok g turun-turun), uring-uringan, dll. Saya jatuhnya lebih baper dibanding si kakak yang merupakan pelaku utama sendiri.
Bahkan saat hari H, saya lah yang sibuk mewek-mewek ketika melihat bagaimana teman-teman dan guru kakak mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Satu-persatu teman kakak memeluk bahkan tidak kunjung dilepas-lepas, belum lagi berkali-kali bu gurunya menggendong kakak yang cukup berat itu. Setelah sampai dipintu gerbang pun, mereka berlarian dan melambai-lambai dibalik jeruji pagar sekolah. ‘Bye Bye Airaaaaaa!!!!’ ‘Airaaaaaaa bye bye!!!’ bahkan hingga kami menaiki sepeda, meraka tetap melambaikan tangan dan berteriak melengking khas anak-anak.
Setelah mengayuh sepeda beberapa puluh meter, saya masih saja mewek dan berlinang airmata. Sehingga sore itu kami berhenti sejenak untuk duduk-duduk di tepi sungai Kamogawa. Tangis saya yang sempet tertahan karena gengsi di depan para guru, beberapa wali murid dan temen kakak pun pecah.
Nah ternyata diusia saya ini, kejadian ini bukan pertama kali nya. Beberapa bulan sebelumnya si adek, juga ber’sekolah’ di tempat penitipan. Waktu itu adek baru berusia sekitar 5 bulan. Sama pun dengan kejadian kakak, di hari terakhir sekolah si adek, saya pun baperan. Rasanya sedih dengan kenyataan si adek harus udahan sekolahnya.
Setelah saya berusaha analisis apa sih penyebab saya baper, saya mendapatkan beberapa alasan ini:
1. Saya merasa bersalah memisahkan anak-anak dengan komunitas dan teman-temannya.
2. Setiap kali anak pergi dan pulang dari sekolah, mereka terlihat happy, yang saya simpulkan mereka mendapatkan perhatian dan cinta di sekolah masing-masing.
3. Saya merasa egois dengan gaya hidup nomaden semacam ini.
4. Saya kurang percaya diri bisa mencarikan atau memberikan kesenangan yang sama seperti yang mereka dapatkan selama ini.
5. Atau bisa jadi saya emang baperan.
Yang pasti saya menyimpulkan satu hal, bahwa bisa jadi anak-anak jauuuh lebih kuat daripada orangtuanya. Mereka memandang apapun dengan sangat positif tanpa prasangka buruk, yakin dengan keputusan orang tuanya dan selalu tersenyum setelah kejadian apapun.
Jadi pengen tau pengalaman ibu-ibu lain apa segininya jugak yah? Apa emang sayanya berubah baperan sejak jadi emak-emak? Hmm....